Daerah, Navigasivisual.id – Presiden Joko Widodo dikabarkan akan melakukan kocok ulang atau reshuffle sejumlah menteri di Kabinet Indonesi Maju. Sejumlah nama pun bakal digeser dan digantikan, terutama menteri dari PDI Perjuangan dan Nasdem.
Saat ini telah beredar nama-nama para menteri dimaksud, yakni Menkumham Yasonna Laoly diganti Supratman Andi Atgas.
Menteri LHK, Siti Nurbaya diganti Raja Juli Antoni, Menteri ESDM Arifin Tasrif diganti Bahlil Lahadalia, Rosan Roeslani Jadi Menteri BKPM, Prof Dadan, Kepala Badan Gizi, Prof Rahmat, Kepala Badan Pangan.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengaku siap jika benar kena reshuffle oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari kursi kabinet.
Yasonna pun meminta menunggu terkait hal itu.
“Kita tunggu besok lusa (Senin 19 Agustus 2024),” kata Yasonna Laoly, Senin (19/8/2024) seperti data yang didapat Tim Navigasivisual.id.
Yasonna menjawab terkait apakah benar dirinya benar akan diganti atau tidak oleh Jokowi. Kendati demikian, Yasonna mengaku siap jika dirinya nantinya benar-benar kena reshuffle.
Menurutnya, persoalan reshuffle merupakan kewenangan Jokowi.
“Isu reshuffle adalah kewenangan sepenuhnya Presiden Indonesia. Am I ready or not? I am more than ready (apa aku siap atau tidak? Aku sudah sangat siap),” ucap Yasonna.
Menanggapi hal tersebut, Komunikolog Indonesia, Emrus Sihombing menilai hal ini tidaklah produktif. Pasalnya, para menteri baru itu hanya menjabat sekitar 2 bulan hingga Oktober 2024.
“Sangat tidak baik, sangat tidak bisa produktif oleh karena itu kalau itu dilakukan lebih cenderung kepada kepentingan politik tertentu karena ada pertimbangan politik yang kepentingan politiknya tidak sama dengan kepentingan politik menteri yang diganti atau kekuatan politik yang di belakang menteri yang diganti,” kata Emrus, Senin (19/8/2024).
Meski menjadi hak prerogatif Presiden, dia menilai bahwa perubahan ini lebih kepada kepentingan politik. Sehingga tak mempertimbangkan kepentingan publik atau masyarakat.
“Presiden jabatan politik tentu keputusan yang diambil pasti berpijak kepada politik.
Alangkah baiknya saya menyarankan kepada bapak presiden mengurungkan niat untuk tidak melakukan reshuffle tersebut demi mewujudkan kesejahteraan rakyat sekalipun itu hak prerogatif,” ujarnya.
Menteri yang diganti pun akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi. Mengingat keterbatasan waktu untuk mempelajari sistem kerja di masing-masing kementerian yang akan dipimpinnya.
“Tidak cukup waktu untuk mempelajari sistem kerja daripada Kementerian itu justru kalau orientasinya adalah produktivitas dan kepentingan rakyat seharusnya tidak dilakukan reshuffle di akhir masa jabatan,” pungkasnya.
“Seorang menteri melakukan konsolidasi memahami semua sistem yang ada di situ tidak gampang. Apalagi yang datang itu adalah pendatang baru ataupun yang belum pernah menjadi menteri ataupun yang pernah menteri tapi pindah Kementerian,” katanya. (Red)